Monday, September 28, 2009

CERPEN


AKU INGIN PULANG

Oleh: Benget Simanullang

Aku ingin pulang.

Seperti yang dilakukan orang-orang di saat menjelang lebaran. Aku rindu akan kampung halaman, ibu, ayah, kakak, adik serta saudara-saudara yang kutinggalkan enam tahun yang lalu. Di kampung.

“Mas, bagaiamana kehidupan di Jakarta? Kalo aku ndak salah tiap lebaran Mas Parto pulang toh ke kampung?”

“Yah, begitulah Din. Tapi yang jelas di Jakarta jauh lebih banyak kesempatan dari pada di kampung ini. Di sana apapun bisa kita kerjakan. Dan mendapatkan duit. Itu toh yang kita harapkan?”

Mas Parto sembari membuka dompet dan membayarkan kopi yang barusan kami teguk di warung dekat sungai, tempat di mana setiap pemuda berkumpul, apalagi di musim lebaran seperti ini. Para perantau akan menunjukkan taringnya masing-masing di sana, dengan berbagai gaya, entah itu kesombongan, atau hanya karena pola kehidupan dan tingkah laku yang sudah berubah setelah menjadi penghuni kota metropolitan, Jakarta. Mas Parto turut membayar kopi yang aku teguk pagi ini.

“Wah, terima kasih banyak telah membayar kopi saya, Mas.”

“Ndak usah terlalu begitu. Klo di Jakarta mah itu hal kecil.”

Kesombongan mulai tampak. Tapi walaupun demikian, aku semakin tertarik untuk mencoba ke Jakarta. Aku semakin terperangkap dengan apa yang Mas Parto utarakan mulai dari tadi pagi kami memesan kopi bersama, hingga waktu memisahkan kami. Aku harus ke ladang untuk membersihkan sebidang tanaman singkong, sedangkan Mas Parto akan pergi ke tempat di mana orang-orang berduit memanjakan diri mereka. Oh… alangkah nikmat hidup mereka. Akau semakin ingin ke Jakarta. Seperti Mas Parto yang hanya dengan modal nekat. Tanpa ijazah!

***

Kira-kira tiga hari kemudian aku bertemu lagi dengan Mas Parto di sebuah warung kopi yang sama. Dengan gaya yang jauh berbeda dengan pemuda-pemuda kampung, dia bergabung bersama kami. Seperti biasa, dia akan membayar semua pesanan untuk kami pemuda kampung yang hanya tinggal di kampung, yang di matanya tidak memiliki uang banyak. Memang benar, kami hanya memiliki uang pas-pasan. Namanya juga di kampung. Pendapatan tidak seberapa. Paling seminggu sekali mendapat uang dari hasil jerih payah yang sangat melelahkan satu minggu ini, mulai dari hari Senin sampai Sabtu. Itupun hanya lembaran-lembaran puluhan ribu.

“Din…” Mas Parto mendekat ke arahku sesaat setelah teman-teman yang lain sudah pada meninggalkan warung, menuju ladang tempat mengais rezeki.

“Iya, Mas Parto!” kulihat di matanya ada sesuatu yang hendak disampaikan. Entah apa. Aku tinggal menunggu mulutnya terbuka untuk menyampaikan tujuannya.

“Kamu ndak bosan begini terus di kampung???”

“Maksud Mas Parto ini apa toh?”

“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Din? Apa kamu ndak ada niat merantau?”

“Ke mana Mas?”

“Yah ke Jakarta-lah! Di sana kamu ini bisa ngapain aja, dan semuanya bisa jadi duit, Din. Bukan kayak di sini, kamu tiap hari kerja tapi upahmu hanya dua puluh ribu sehari. Apa kamu pikir itu cukup untuk hidup kamu kelak? Kamu masih muda loh Din. Masa mudamu ini jangan disia-siakan. Mumpung masih muda kamu harus kerja keras buat masa depan.”

Mendengar perkataan Mas Parto, aku semakin yakin kalau dia adalah seorang yang sukses di tanah rantau, Jakarta. Aku semakin ingin mengikuti jejaknya. Sebab aku tahu siapa Mas Parto yang dulu. Hanya seorang lulusan SMP dengan nilai yang pas-pasan. Tapi di mataku sekarang dia telah berubah menjadi seorang yang sukses. Entah apa pekerjaannya di Jakarta, yang jelas secara implisit dia selalu menggambarkan bahwa Jakarta memberi dia segudang kesempatan untuk meraih uang, suatu bentuk riil yang selalu dicari manusia.

Uang adalah segalanya. Jika orang tidak memiliki uang, niscaya mereka dapat melakukan apapun. Dengan uang segala sesuatu yang mereka inginkan dengan segera akan terkabulkan. Segalanya. Ingin bepergian, harus ada uang. Ingin beli sesuatu, harus ada uang. Bahkan di Jakarta, untuk kencing sekalipun, harus ada uang. Karena itu uang sangat berpengaruh dan manusia akan melakukan apapun demi mendapatkan uang.

Di TV, menjelang hari lebaran banyak diberitakan pencurian-pencurian dengan berbagai modus. Pengakuan mereka karena ingin membeli perlengkapan lebaran, tapi karena tidak mempunyai uang mereka nekat untun mencuri. Mereka rela menodai kesucian puasanya, yang telah mereka mulai dari awal puasa, satu bulan yang lalu, dan harus dikotori sesaat menjelang hari kemenangan yang fitri.

Ada juga yang berpura-pura membuka koperasi simpanan untuk persiapan lebaran. Orang yang tidak mengerti dan tidak menaruh curiga akan tindak kejahatan, mereka rela dan bersedia menjadi nasabah dengan diiming-imingi semua uang beserta bunganya akan diserahkan menjelang lebaran tiba. Antusiasme para calon nasabah terlebih karena ada ‘bunga’ yang akan diterima, lumayan besar, dalam waktu yang sangat singkat. Cerdas juga orang yang memulai usaha (penipuan) itu. Dan para nasabah-pun akhirnya tertipu. Uang mereka dari yang nominalnya kecil samapi besar, dibawa kabur oleh si pengelola yang tidak bertaggung jawab itu. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan dengan demikian, dia telah menodai kesucian ramadhan.

Itu semua modus demi mendapatkan keuntungan sekejap tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Mereka melakukan itu karena tidak memiliki uang dan demi mendapatkan uang. Jadi, benar ungkapan yang mengatakan bahwa uang itu adalah segalanya.

“Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran hendak merantau ke Jakarta, Udin?”

Si Mak dengan nada yang agak keberatan menginterogasi aku.

“Lebih baik kamu di sini saja bantu-bantu Mak kerja di kebon. Lagian Mak udah tua, dan butuh teman untuk mendampingi Mak. Bapakmu juga sudah sakit-sakitan. Mbakmu sudah pada kawin semua, hanya kamu yang tinggal yang kami harapkan bisa menjaga kami di sini. ”

“Udin mau cari uang yang banyak, Mak! Di Jakarta tempatnya!”

“Jakarta itu kejam, Din. Kalau kamu ndak punya apa-apa, kamu ndak bakalan dipake di sana. Dulu sudah banyak teman Mak yang terpaksa dipulangkan sama pemerintah karena di Jakarta tidak kerja. Mereka jadi pengemis dan pemulung. Ada yang jadi pengamen, ada yang jadi copet, ada juga yang jadi pelacur! Itu semua tidak mereka inginkan tapi keadaanlah yang membuat begitu anakku. Mak takut kamu juga akan menjadi seperti mereka jika kamu bersikeras pergi ke Jakarta untuk merantau.”

“Tapi Mas Parto bilang kalau di Jakarta kita bisa cepat mendapat uang, Mak! Udin juga ingin seperti Mas Parto. Punya banyak uang dan bisa membahagiakan ibu-bapaknya. Udin juga ingin buat Mak bahagia.”

“Mak sudah bahagia kalau bisa melihat kamu di samping Mak. Bagi Mak, uang bukan segalanya, Din. Kebahagian itu tidak diukur dengan uang.”

Mak menarik napas panjang.

“Kamu tidak lulus SMA, Din. Kamu hanya punya ijazah SMP. Di Jakarta sudah banyak yang sarjana. Pasti mereka lebih diutamakan untuk bekerja dari pada orang yang hanya lulusan SMP kayak kamu. Dan kamu harus tau, di Jakarta banyak sarjana yang menganggur, Udin.”

“Tapi Mas Parto juga hanya lulus SMP kan , Mak? Kenapa dia bisa sukses?”

“Kamu tau apa pekerjaan Parto yang sebenarnya di Jakarta? Dia pernah cerita tentang pekerjaannya?”

Aku menggeleng. Memang selama ini Mas Parto tak pernah ngasih tau apa pekerjaannya di Jakarta. Dia hanya menceritakan bahwa Jakarta lahan uang yang bisa membuat orang cepat kaya. Dia tidak pernah menceritakan kesusahan-kesusahan yang ada di sana.

“Di Jakarta kamu kerja apa, Mas Parto?”

Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. Aku hanya ingin tahu saja.

Mas Parto terdiam. Dia memandangiku dengan tatapan tajam. Aku takut dia marah karena pertanyaanku itu.

Benarkah dia marah???

Aku agak merasa tenang setelah dia akhirnya tersenyum. Aku kini bisa bernapas lega. Sebab Mas Parto adalah seorang yang pemarah. Jika dia tidak senang dia akan memukul siapapun yang ada di dekatnya. Mungkin itu sudah diturunkan atas dirinya. Tapi yang jelas ibu-bapaknya tidak menyerupai karakter Mas Parto. Mungkin dari nenek atau kakeknya. Bahkan waktu SD dia pernah melemparkan penghapus papan tulis ke guru yang menuding dia sebagai tukang bolos dan tidak tahu apa-apa dalam pelajaran. Dan masih banyak kelakuan-kelakuan dia yang tidak terpuji sehingga harus berpindah-pindah sekolah. Karena itulah kami bisa sekelas dari kelas enam sampai lulus SMP, padahal rentang usia kami berkisar empat tahun. Intinya, dia seorang pemarah dan keras kepala.

“Kerjaan saya banyak, Din! Kamu akan kelak tau kalau sudah ada di Jakarta.”

Mas Parto tidak mau memberitahukan apa sebenarnya pekerjaannya di Jakarta. Yang jelas dia sibuk dengan pekerjaan yang banyak. Itu yang terlontar dari mulutnya. Apa dan bagaimana bentuk pekerjaan itu belum bisa tergambar di benakku sebab tidak ada gambaran yang dia lontarkan entah berprofesi sebagai apa.

***

Tahun 2003 aku tiba di kota Jakarta. Bersama Mas Parto yang telah menjanjikan banyak hal dan membuat aku seolah terhipnotis dengan cerita-cerita yang dia bacakan sewaktu masih di kampung. Bermodalkan seratus tujuh lima puluh ribu rupiah dan tentu dengan ijazah SMP, aku merantau ke Jakarta. Diberangkatkan dengan isak tangis Mak dengan ketidaksetujuannya atas keputusanku ini untuk mencari makan di kota orang, Jakarta.

Aku selalu ikut ke mana Mas Parto melangkah. Mulai dari stasiun Gambir hingga ke sebuah perkampungan yang jauh lebih menyedihkan dari pada kampung halamanku yang telah aku tinggalkan demi secerca harapan yang selalu menyibak pertanyaan, apakah bisa terwujud. Entah sampai kapan. Yang jelas suatu pertanda bahwa sekarang aku telah jauh dari Mak dan harus bisa mandiri di kota, yang kata Mak sangat kejam. Jakarta, apa yang bakal terjadi denganku???

Kami tiba di suatu tempat. Di sana sudah banyak orang yang tiduran dan sebagian hilir mudik entah sedang melakukan apa.

Tempat apa ini?

Di mana rumah Mas Parto?

Di sini?

Bukan! Ini bukan rumah.

“Ayo masuk!” Bagaikan tuan rumah yang baik dan ramah, Mas Parto membukakan pintu buat tamunya. Tapi saat ini tak ada pintu yang dibuka sebab tempat itu bagaikan ruang hampa tanpa pintu. Lembab dan tak bersahabat.

Ini adalah tahun ke enam aku tinggal di sini. Tak pernah pulang ke kampung bahkan saat Mak meninggal karena penyakit ganas yang dideritanya jauh sebelum aku meninggalkannya sendirian. Selama enam tahun ini aku menghabiskan waktu dengan bekerja. Memulung dari satu tempat ke tempat lain. Tak ada yang menerima aku bekerja seperti yang pernah Mak katakan sewaktu aku masih bersamanya, di kampung. Memang benar, para sarjana yang bahkan lulus dengan predikat cum laude masih banyak yang menganggur. Dari satu perusahaan ke perusahaan lain telah aku coba, dan tak satupun yang mau menerima aku. Dan koneksi juga tidak punya. Seandainya ku punya koneksi, aku yakin akan bisa bekerja sesuai dengan yang aku harapkan. Sebab sadar atau tidak sadar, budaya nepotisme masih merajalela di negeri ini. Entah sampai kapan.

Tak seberapa uang yang aku hasilkan dari pekerjaan itu. Hanya cukup makan dan minum dalam satu hari. Dan terkadang aku harus ngutang agar bisa bertahan hidup sampai detik ini. Aku mengerjakan pekerjaan yang di mata orang lain mungkin nista, tapi halal bagiku, sebab aku tak mau mengikuti jejak Mas Parto.

Lima bulan yang lalu Mas Parto ditangkap polisi karena dia membunuh seorang gadis yang tidak mau menyerahkan sejumlah uang dan perhiasannya saat gadis itu pulang dari tepat kerjanya. Ternyata dia seorang pencopet. Dan tidak segan membunuh jika ada yang menghalangi niatnya. Sudah sering dia membunuh dan baru kali ini ketahuan. Penjara menjadi rumahnya. Jauh lebih bagus dari rumah kami yang terdahulu, yang hingga kini masih aku tempati untuk bersinggah dari teriknya mentari di siang hari dan basah di waktu hujan meski tetap bocor terdapat di sana-sini. Inilah tempatku sekarang di Jakarta, kota idaman setiap orang mencari sesuap nasi, mulai dari orang berdasi hingga orang yang mendorong gerobak. Kota penuh teka-teki yang mampu menghalalkan segala cara oleh setiap orang yang merasa kalah dalam persaingan. Terjadilah kekerasan, penindasan hingga para konglomerat dan penguasa negeri ikut ambil andil dalam pemerasan, itulah korupsi. Bahkan yang memberantas korupsi, ikut korupsi. Mereka terjebak ke dalam karung yang hendak mereka bersihkan dari tikus-tikus yang memiliki gigi tajam membocori karung, sehingga mereka menjadi bagian dari tikus itu.

Sudah enam tahun aku di sini. Di Jakarta. Tanpa harapan bisa hidup menjadi lebih sejahtera. Mungkin ini adalah suratan takdir yang diberikan sang Khalik padaku. Namun sebelum kembali pada-Nya, hanya satu keinginanku yang sudah lama aku pendam dalam kemelaratan jiwa, yang entah kapan bisa aku penuhi.

Aku ingin pulang…

Dalam keheningan senja sebuah kamar kost

Ramadhan yang fitri

Jakarta, September 2009

Friday, September 25, 2009

CERPEN


KEHIDUPAN CINTA

Oleh : Benget Simanullang

Kata orang cinta itu ibarat sekuntum bunga. Jika tak disiram dan dirawat akan lisut, layu dan mati. Kata orang lagi, cinta itu ibarat lentera. Jika tak selalu diisi dengan minyak, akan redup dan padam. Lalu… mati! Gelap. Ada juga orang berkat kalau cinta itu buta, tak pernah memandang dari satu sisi kehidupan. Dan juga orang berkata kalau cinta itu ibarat cita-cita. Harus terus diraih, dikejar dengan segala usaha meskipun banyak rintangan menghadang, menentang awan, menyerang lawan bahkan teman, sahabat dan saudara sedarah, cinta itu harus dipertahankan.

Lalu seorang teman bergurau di sampingku. Namanya Dimaz.

“Bagi saya, jika ada orang yang bertanya cinta itu apa, pasti saya akan menjawab…”

“Apa…?” Rahun yang dengan sekejap meneguk orange juice – nya tak sabar menanti sebuah pernyataan yang hendak diutarakan oleh Dimaz.

“Cinta itu ibarat kentut.” Dimaz setengah berbisik.

“Ha… ha… ha…” kami yang mendengarnya tertawa lepas. Dimaz pasti agak sakit hati, sebab itu sudah menjadi tabiatnya. Jika segala sesuatu yang dia ungkapkan ditertawai orang lain, dia merasa kalau harga dirinya telah diinjak-injak.

“Gokil! Kamu pikir…”

tiba-tiba Dimaz memotong,

“Saya tidak mikir apa-apa. Kalian tahu nggak, kalau kentut ditahan-tahan pasti akan sakit perut. Nah… begitu juga dengan cinta.” Dimaz sembari melap mulutnya dengan tissue. Aku hanya tersenyum. Benar juga sih, cinta itu tidak boleh dipendam. Kalau kentut ditahan akan sakit perut, kalau cinta dipendam akan terasa sesak lalu berujung pada sakit, sakit dan sakit…

“Ya, itu benar! Karena itu, jika kita cinta pada saat pertama kali melihat seseorang, kita harus mengatakan langsung pada saat moment itu ada. Sebab jika tidak, semuanya akan sirna. Kita nggak bakal dapat kesempatan lagi sebab kesempatan itu hanya datang sekali saja.” Alvin mengutarakan teorinya. Semua kami yang mendengarnya manggut-manggut. Aku yakin pada saat itu Alvin pasti besar kepala sebab kami yang kini berada di samapingnya sangat antusias mendengar apa yang dia katakan. Ya benar, kesempatan tak pernah datang dua kali.

“Tapi saya masih skeptis!” tukas Rahun.

“Kok kamu masih skeptis?” Alvin meletakkan kembali gelas yang berisi air mineral yang tadinya hendak dia teguk.

“Kalau kita buru-buru mengungkapkan cinta itu nggak baik. Bisa berabe!”

“Emangnya kenapa?” Giring menunda melahap spaghetti­ – nya yang sudah hampir masuk ke mulut.

“Cinta itu jangan buru-buru. Gimana kalau cewek yang hendak kita tembak itu ternyata sudah punya bokin, tunangan atau lebih parahnya lagi, suami? Jadi kita harus kudu observasi dulu. Kalau sudah merasa klop, nggak ada lagi rintangan, baru kita buat strategi untuk mengungkapkan isi hati.” Rahun berapi-api menyampaikan apa yang menurutnya baik.

“Teori kamu itu kampungan!” timpal Alvin.

“Kampungan apanya?” Rahun tak terima dikatain kalau teorinya kampungan.

“Asal kamu tahu ya, di zaman ini nggak ada lagi cinta yang butuh observasi. Kagak zamannya bro! Semua cewek sama saja, dan juga cowok!”

“Maksud kamu apaan? Saya jadi tambah bingung…” Dimaz mengeryitkan keningnya.

“Jangan pura-pura bego deh…! Masa sih kamu sebagai cowok nggak merasakan itu?” Alvin masih saja merahasiakan maksud perkataannya.

Suer, saya sama sekali nggak bisa nangkep maksud kamu…”

Bro, sekarang ini kalau ada yang lebih cantik bagi pria kayak kita-kita ini, dan lebih ganteng bagi gadis-gadis di luar sana, nggak bakalan teringat lagi sama yang di rumah. Yang ada di otak hanya yang ada di depan mata. Ingin memeluknya dan mungkin ingin melumatnya. Dan parahnya lagi, pasti ada pikiran di otakmu untuk mengawininya. Binal bangat, kan? Gitu potret manusia sekarang. Dunia selingkuh sudah merajalela, bro!

Aku semakin bingung mendengar pembicaraan itu. Pembicaraan seperti ini sudah menjadi kebiasaan kami; aku, Alvin, Giring, Dimaz dan Rahun di saat rest dari kerjaan, di kantin sambil mengisi perut yang sudah setengah hari belum terisi. Apalagi kalau topik yang diangkat adalah masalah cinta dan seks, semuanya pasti antusias.

Tak satu pun yang aku bantah dan tak satupun teori yang aku bagikan.

“Jadi menurut kamu nggak ada lagi cinta sejati, gitu?” Giring memastikan Alvin.

Kalau itu sih saya nggak bisa pastikan! Tapi yang jelas, manusia itu sudah seperti binatang…” Alvin setengah bersuara. Aku spontan terkejut karena tak menyangka Alvin menilai manusia sekarang separah itu. Lalu Alvin melanjutkan,

“Mereka pengennya gonta-ganti pasangan. Pengen tidur dengan wanita yang begini, dengan lelaki yang begono dan yang begunu. Intinya, nggak pernah puas denga satu merk.”

“Shampo kaliii…” Rahun langsung menyahut.

* * *

Papa. Aku langsung teringat sama papa. Papa adalah sosok yang sangat baik, perhatian sama isteri dan anak-anaknya, tidak pelit dan masih banyak lagi kebaikan yang sudah mendarah-daging dalam dirinya. Hanya satu penyakitnya yang aku yakin nggak bakal pernah bisa hilang lenyap dari raganya.

Wanita. Itulah penyakitnya. Papa nggak bakalan tahan kalau melihat cewek yang cantik. Air liurnya pasti akan meluber. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang telah diinginkannya itu. Apapun rintangannya. Sampai titik darah penghabisan dia akan terus berusaha. Pahlawan kaliii... Untuk menyembunyikan kedoknya itulah mungkin papa menghipnotis kami agar tak pernah merasa curiga sedang apa papa di luar sana. Mungkin dulu itu bisa dilakukannya, tetapi sekarang nggak lagi sebab aku sudah besar dan telah mengerti tentang kehidupan. Dan mama-lah yang menjadi korban akal bulus papa.

Jadi apa yang Alvin katakan itu benar adanya. Dan papa-lah salah satu contoh yang bisa diangkat sebagai gambaran para suami (lelaki) yang tidak pernah puas dengan satu merk. Dia sangat hoby memakai merk-merk lain. Suka main perempuan di luar sana. Berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Bahkan aku pernah melihat papa bersama seorang cewek yang masih berpakaian seragam es-em-u. mereka masuk ke sebuah hotel. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Yang pasti, menurut aku mereka akan bercinta.

Dua minggu kemudian setelah peristiwa dengan anak sekolahan itu, aku melihat papa lagi menggandeng seorang gadis yang adalah teman sekampus aku. Ternyata dia itu ayam kampus. Mereka berjalan mesra bak pasutri. Dalam hati aku berpikir, laris juga papa aku. Aku nggak benci sama papa, tapi aku menyesal punya papa sebinal dia. Mulai dari itu aku yakin kalau papa sering menggauli wanita selain mama. Entah sudah berapa adik aku di luar sana. Semoga saja papa selalu pakai kondom dan dengan demikian tak ada adik aku yang berkeliaran di luar sana. Dan tentunya aku sangat kasihan sama mama. Dia terus setia menunggu papa di rumah padahal papa selalu nyosor di tempat lain. Aku tak pernah mau membuka kedok papa sebab aku takut mama tambah sedih. Cukup hanya aku yang tahu. Kakak-kakakku pun tak perlu tahu.

* * *

Kok bengong aja, Ben? Lagi mikirin apa?” Giring membangunkan aku yang sedang asyik mengingat kelakuan sang papa.

Ngggak, aku nggak mikirin apa-apa kok! Aku hanya…”

“Hanya mikirin kenapa kamu jomblo melulu, iya?” potong Dimaz.

“Kamu tahu nggak kenapa kamu jomblo terus?” Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah Alvin yang merupakan sumber suara. Aku yakin kalau dia pasti akan mengeluarkan petuah yang kalau jujur aku katakan, nggak penting bangat!

“Sebenarnya kamu itu ganteng. Malah lebih ganteng dibanding kita semua yang ada di sini. Kerjaan bagus, body oke, tergolong atletis yang banyak digemari gadis-gadis. Saya yakin bangat kalau kamu banyak ditaksir cewek-cewek. Menurut saya, kamu sendiri yang buat kamu ngejomblo terus hingga detik ini. Kamu terlalu pesimis untuk mengungkapkan rasa cinta sama cewek.”

“Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah kissing, belum?” Rahun nyosor bertanya.

“Kamu masih perjaka kali, ya?” Giring menambahkan.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol yang nggak berarti itu. Aku berusaha santai dan menenangkan diri dengan meneguk kopi yang ada di hadapanku. Mereka sangat penasaran dan aku yakin mereka pasti ingin tahu bagaimana aku dengan kehidupan cintaku. Tetapi aku memilih untuk tidak berkomentar. Kalau keempat temanku itu selalu bercerita bagaimana mereka melewati hari-hari mereka dengan cinta. Pasti banyak hal yang akan mereka kisahkan peristiwa pada malam sebelum hari ini. Jadi aku sangat kenal bangat dengan mereka.

Kalau Alvin sudah seratus kali ganti pacar. Dan dia sangat bangga dengan itu semua. Dia juga mengakui bahwa bercinta ala barat menjadi kebiasaannya. Free sex gitu deh. Dan begonya, cewek-cewek yang jadi bokinnya itu mau-mau saja. Pengen juga kali, ya…? Itulah pengakuan dia. Dan menurut aku apa yang dikatakannya itu sangat benar sebab aku sudah pernah melihat dengan mata kepala sendiri ketika aku sedang main ke kost-nya. Dia sedang hanyut dalam asmara dengan seorang cewek yang tak lain ialah Rashya, teman sekantor kami. Padahal Rashya bukanlah pacarnya. Kalau Giring, pengakuannya dia sudah nggak perjaka lagi saat dia masih kelas dua es-em-u. Dia bercinta dengan pacar pertamanya yang sekarang sudah nikah dengan pria lain meskipun pengakuannya pria itu jauh lebih jelek dibaning dirinya. Mereka putus karena agama yang berbeda. Kalau Dimaz mempunyai kisah cinta yang menjijikkan. Dia pernah bercinta dengan ibu kost-nya. Lantaran uang kost yang terlanjur habis, keperjakaannya yang menjadi bayaran untuk itu. Ketahuan sama suami ibu kost-nya dia dihajar dan diusir dari kost-nya itu. Rahun. Dia kelihatan alim. Agak pendiam. Dia itu orang yang terganteng di kantor kami. Hanya sayang, pacarnya nggak jelas. Dia lebih sering dan senang menghabiskan malam-malamnya dengan tante-tante. Katanya, di samping bisa memenuhi hasrat seks, uang terus mengalir. Memang Rahun orang yang nggak pernah merasa cukup kalau bicara mengenai uang. Dasar cowok murahan! Bagiku dia itu seorang gigolo. Itulah potret keempat temanku. Nggak ada yang beres.

* * *

Aku? Sebenarnya aku punya pacar. Hanya keempat sobatku itu nggak tahu karena aku nggak banyak cerita tentang itu. Namanya Zumi. Aku cinta mati sama dia. Cantik bangat dan seksi. Kadang-kadang aku minder menjadi pacarnya, apalagi kalau jalan ke mall. Tampangku serasa jelek bangat kalau di depan dia. Aku nggak tahu kenapa dia mau menerima cinta dariku. Tapi itu nggak penting. Yang jelas aku sudah senang karena bisa memilikinya.

Aku dan Zumi sudah satu tahun jadian. Aku memberi dia kebebasan. Nggak ada yang namanya aturan dalam hubungan kami. Harus saling percaya, itulah cinta yang sesungguhnya bagiku. Dan satu prinsip bagi aku, nggak bakalan ML sebelum aku sah jadi suami. Beda bangat kan aku sama bokap? Zumi sangat senang mendengar prinsipku itu.

“Ternyata masih ada laki-laki yang baik di dunia ini.” Zumi memuji.

“Masih banyak. Hanya sayang, lebih banyak yang jahatnya.” sahutku.

“Karena itulah saya cinta bangat sama kamu, Ben.”

“Aku juga cinta bangat sama kamu, Zum. Jangan tinggalkan aku, ya…” pintaku.

Aku percaya seratus persen dengan semua yang Zumi katakan. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi pacar Zumi. Di samping dia cantik ternyata juga sangat tulus. Aku ingin kalau boleh memilih dialah yang nantinya menjadi labuhan cinta hidupku. Berakhir dengan dia dalam peraduan. Suami-Isteri. Sekarang aku hanya tinggal menjaga dan merawat agar cinta yang ada terus hidup dan bernyala.

Tapi sial. Kepercayaanku ternyata disalah-artikan. Ketika aku hendak membeli cincin, hadiah ulang tahun untuknya, aku melihat dia sedang asyik berjalan dengan seorang pria lain yang sudah tua. Aku yakin dia itu bukan papanya sebab mereka sangat mesra. Darahku serasa berhenti mengalir. Dadaku sesak dan ingin meledak. Sekujur tubuhku bergetar, keringat dingin. Mataku terus tertuju ke arah mereka yang semakin tambah mesra itu. Aku masih nggak percaya dengan apa yang aku lihat ini. Zumi semakin mesra memeluk pria paruh baya itu. Dia memegangi wajah pria itu, mencium pipinya, dan lain-lain. Pria itu berbalik dan melihat ke belakang tapi tak menyadari keberadaanku di sana. Dan bisa jadi dia nggak kenal sama aku. What….???

Aku tambah terkejut, sebab pria itu… pria itu adalah papaku!

* * *

Aku memandang keempat temanku itu. Rasanya ingin aku tumpahkan air yang ada di dalam gelas yang masih aku pegang sekarang agar semuanya bisa diam dan tak membahas masalah cinta. Sebab jika pembicaraan membahas seputar cinta, aku jadi semakin tak bisa melupakan adegan yang aku saksikan sendiri, di mana kekasihku pacaran dengan papaku sendiri. Namun itu semua tak aku lakukan sebab menurutku mereka punya hak untuk berbicara sebab Negara ini sudah merdeka. Dengan demikian warga Indonesia berhak memberi pendapat meskipun banyak yang tidak membangun.

Jangan pernah salah mengerti apa itu cinta. Cinta itu indah dan kejam pada waktu!

Thursday, September 24, 2009

HAKEKAT MANUSIA


KEHIDUPAN

Manusia dilahirkan untuk hidup. Menjadi bagian dari dunia, di mana terdapat orang-orang dari berbagai usia dan karakter. Lambat laun mereka akan semakin mengenal dan juga akan semakin merasa nyaman satu dengan yang lainnya. Namun tak tertutup kemungkinan di antara mereka selalu timbul rasa iri, cemburu yang mengakibatkan setiap orang berdiri pada prinsip masing-masing yang mengetengahkan ego sebagai cikal bakal permusuhan. Kemudian lahirlah orang-orang jahat, munafik, dan mungkin orang yang suka mencari kejelekan orang lain. Sebab dia sudah merasa yang paling benar dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
KEHIDUPAN...
Raihlah dia.
Jangan buat menjadi MALAPETAKA...
Jangan buat menjadi CERCAAN...
Jangan buat menjadi SANDUNGAN...
Jangan buat menjadi NISTA...
Raihlah dia, dan buatlah menjadi KEHIDUPAN YANG BERMAKNA!!!

I LOVE YOU FULL...

Monday, September 14, 2009

OPINI


DIVERSITAS SEKSUAL SERTA KAJIAN PORNOGRAFI

Oleh : Benget Simanullang

Tanpa disadari belakangan ini masalah yang timbul dan kerap diperbincangkan bahkan menjadi sebuah titik permasalahan di kalangan kita adalah tentang pornografi yang sebenarnya diartikan dari segi yang berkaitan dengan sexualitas. Dan sehubungan dengan itu, dibuat dan diberlakukanlah sebuah undang-undang yang kita kenal dengan undang-undang pornografi. Banyak kalangan yang kontra dengan diberlakukannya undang-undang tersebut sebab di lain pihak ada yang merasa dirugikan dan ada yang merasa diselewengkan sebab ada hal-hal yang masih rancu dari kepornografian yang dimaksud.

Kalau dilihat dari sudut pandang psikologis, pornografi itu mengarah pada perlakuan yang mempertontonkan sesuatu yang bersifat erotis. Namun perlu ditelaah kembali arti dari pornografi tersebut dari berbagai macam adat dan kebiasaan. Mungkin bagi wanita yang berkerudung (jilbab) dengan memperlihatkan diri ke hadapan publik tanpa mengenakan kerudung bagi dia itu sudah merupakan suatu kesalahan yang bisa diartikan sebuah tindakan erotis karena memperlihatkan auratnya. Dan istilah kerennya bisa dikategorikan ke dalam salah satu tindak pornografi. Beda lagi bagi orang yang sudah biasa dengan pakaian yang minim alias seksi, mungkin dengan busana yang serba tanggung bisa jadi menjadi bagian dari hidupnya yang tak bisa dikatakan tindakan erotis, karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Karena itu hendaknya sebuah undang-undang lebih mengarah ke sesuatu yang membangun dengan tidak mengabaikan sebuah kebiasaan yang terjadi seiring perkembangan zaman. Tak ada kata yang tepat dari sebuah pemikiran untuk bisa mengejawantahkan undang-undang yang dilahirkan, namun tak ada juga kata dari sebuah pemikiran yang bisa melecehkan undang-undang yang telah dirunut dengan baik. Tak ada kata tak ada istilah, namun semuanya itu masih di ambang kata!

Mengapa kerap semuanya itu dikaitkan dengan seksualitas? Hal ini didasari karena pola pikir kita tentang seksual masih beraneka ragam dan sering dianggap ke sesuatu yang bersifat negatif. Masih banyak orang yang menganggap kalau seksualitas itu hanya mengarah pada aspek persetubuhan, ada juga yang menterjemahkan seksualitas itu ke sebuah pemahaman alat kelamin dan fungsi dari alat kelamin tersebut. Dan tak tertutup kemungkinan bahwa ada orang yang mengarah pada perbedaan gender kalau dengan mendengar istilah seksualitas. Tak heran jika karena itu istilah seksual masih dianggap tabu jika diperbincangkan di tengah-tengah keluarga karena masih berfokus pada pola pikir yang sumir. Padahak sangat baik jika di dalam keluarga seksual dibicarakan dan menjadi topic yang dianggap sangat perlu untuk dimusyawarahkan sebab dengan demikian anggota keluarga khususnya anak semakin siap untuk menghadapi masa remaja dan menuju dewasa yang berakhir pada kehidupan suami isteri yang mau tidak mau selalu dekat dengan apa yang dinamakan seksual. Dan perlu untuk diingat bahwa seksual tidak melulu diartikan sebatas hubungan intim atau persetubuhan. Seksualitas masih menganut arti yang sangat mendalam yang bisa dikaji menjadi arti yang sangat berharga bila dilihat dari segi edukasinya.

Dengan beraninya para orang tua untuk membicarakan masalah seksualitas di tengah keluarga, dengan demikian anak bisa mengerti mana yang baik dan mana yang kurang baik atau bahkan sangat tidak baik. Bertolak dari titik itu anak-anak menjadi tahu dan sadar mana yang harus dilakukan dan tentu tak bisa lengkang dari segala tanggung jawab serta aspek konsekwensinya. Ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam mencerna arti dari sebuah istilah seksual. Pertama, seksualitas berasumsikan pada sebauh edukasi yang baik yang bisa mengajarkan pada suatu pola pikir dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, seksualitas yang mencerminkan budaya dan adat istiadat bisa mengacu pada suatu yang dinamakan peristiwa masa mendatang yang mampu untuk membentuk karakter seseorang dalam berperilaku. Ketiga, seksualitas hanya batasan ilmu yang dibutuhkan untuk perjalanan sebuah kehidupan yang berazaskan pada kehidupan perkawinan yang monogami.

Tak ada yang bisa mengklaim bahwa pengertian kita salah dalam mengartikan seksualitas. Pemikiran yang kita berikan ibarat sumbangan yang bisa diperkaya dengan istilah-istilah/pengertian yang tentunya berasal dari pemikiran lain dari orang yang mungkin masih jauh dari sempurna. Dari semua pengertian itu kita bisa menelaah dan pada akhirnya sepakat bahwa seksualitas hanya sebatas edukasi yang bila disalahartikan bisa berbuah petaka.