Monday, November 23, 2009

2012; KIAMAT

2012, Prediksi Kiamat yang tiada Akhir
Oleh : Benget Simanullang
Banyak orang yang tercengang akan hadirnya film terbaru Hollywod yang disutradarai oleh Roland Emmerich itu. Salah satu film yang menakjubkan yang sebagai inti menggambarkan kehancuran dunia yang sering diterjemahkan manusia sebagai kiamat.
Kiamat
Entah benar atau salah, manusia sering menginterpretasikan bahwa kiamat itu identik dengan akhir dari riwayat bumi. Terjadinya gempa, banjir, tsunami seperti di NAD, dan gambaran lain dari bencana diartikan sebagai tanda-tanda hari kiamat sudah dekat, dan Allah sedang murka. Itukah kiamat yang sebenarnya?
Tak jarang terdengar para ahli ramal-meramal mengatakan, pada satu titik tertentu akan terjadi kiamat. Orang yang mudah percaya (yang menurut hemat penulis terbodohi), langsung merasa was-was dan ada yang berakibat fatal seperti yang pernah terjadi yakni, para penganut kiamatisme melakukan bunuh diri massal sebab mungkin mereka tidak ingin merasakan derita kiamat. Namun ramalan itu tidak pernah terjadi hingga detik di mana tulisan ini rampung ditulis. Akan tetapi di sisi lain ramalan itu memiliki nilai positif, di mana orang-orang melakukan introspeksi dan secara perlahan melakukan pertobatan hingga nilai cinta kasih tumbuh bersama di tengah-tengah kita.
Tentu ramalan yang terdengar secara manusiawi menakut-nakuti kita yang mendengarnya. Terlepas dari sisi mana kita mencoba mentafsirkan kiamat itu sendiri. Rasa takut sudah pasti timbul dalam diri setiap manusia sebab ada kalanya kita belum siap untuk menerima sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan kita. Begitu juga dengan kiamat.

Kapan kiamat itu terjadi?
Pertanyaan ini pernah saya lontarkan di status facebook saya beberapa minggu yang lalu dibarengi dengan munculnya film 2012. Berbagai komentar berdatangan dari teman mulai dari yang sudah pernah ketemu hingga dari yang belum pernah ketemu sama sekali, dengan pola pikir masing-masing tentang kiamat, suatu kejadian yang sangat ditakuti manusia tersebut. Berbagai keunikan muncul dari komentar-komentar mereka, yang intinya kembali mempertanyan ‘benarkah kiamat itu akan terjadi?’.
Dengan meminjam teori Jaya Suprana di mana beliau mengatakan, secara imaniah maupun logika tidak bisa dimungkiri, mungkin saja kiamat akan benar-benar terjadi. Misalnya, apabila ada meteor yang ukurannya cukup memadai, mendadak menabrak planet Bumi tanpa terbendung oleh lapisan-lapisan sfere yang memperisai bola dunia ini (Kompas, 21/11). Jelas, bahwa itu bisa merusak planet Bumi, tempat kita berpijak hingga Bumi akan porak poranda seperti yang tergambarkan dalam film 2012, mahaprahara malapetaka.
Secara paradoksal, tak seorangpun dari kita yang menginginkan terjadi kiamat, yang mematikan itu. Pasti kita akan menghindar jika diminta untuk memilih. Hal itu timbul dari bawah alam sadar kita karena kita tidak menginginkan petaka mahadahsyat yang kita kenal dengan kiamat. Namun secara primordial seperti yang diajarkan oleh iman kepercayaan kita selaku umat Katolik, kiamat itu akan terjadi, yakni di saat manusia itu menghembuskan napas terakhirnya dan kembali ke pangkuan Sang Pencipta, Allah Bapa yang Mahakuasa. Itulah kiamat, yang sebenarnya tidak usah kita takuti, sebab setiap manusia akan menerimanya.

Penulis adalah Mahasiswa Program Vokasi Kedokteran UI
Dan Karyawan Yayasan Tri Asih, Jakarta.

Sunday, November 1, 2009

SURAT CINTA BUAT PRESIDEN



Surat cinta sejatiku buat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (2009 – 2014)

Ytk,
Bapak Presiden beserta wakilnya
Di tempat terindah di antara keping-keping kemiskinan,
Menjulang tinggi bagai singgasana dan gapura yang membatasi diriku,
yang nista dari kalangan durhaka, dengan dirimu yang mulia,
dari kalangan mentereng.

Salam hangat dalam pertemuan surat ini,
Mengingat akan nistanya diriku dan sesamaku, melalui surat ini ingin aku bertanya untukmu wahai presiden dan wakil presidenku, Bapak SBY dan Bapak Boediono, masih adakah cinta untukku, kaummu dari rakyat yang terbuang, dan bagi mereka yang konon masih menganggap diri jauh lebih nista dari diriku?
Sebenarnya hal ini selalu aku pertanyakan jauh sebelum aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti sekarang ini. Entah karena apa, tapi mungkin karena selama hidup dan menghirup napas di negeri di mana Tuhan telah menempatkan aku di negeri ini, Indonesia yang katanya sudah merdeka ini, aku sebagai rakyat mulai dari pemerintahan para presiden sebelumnya tidak pernah merasakan indahnya sebagai rakyat yang memiliki presiden dan kemerdekaan yang ditempuh hingga titik darah penghabisan. Adapun kemerdekaan itu masih simpang siur akan keberadaannya jika ditelaah secara holistik. Akankah kemerdekaan itu masih bermakna ambigu hingga detik ini?
Namun terkadang pertanyaan ‘bodoh’ku itu tersembuhkan secara tidak langsung. Meski hanya sekejap, tapi aku tetap merasakan kesembuhan atas semunya. Itulah yang aku rasakan, di masa kampanye, sebuah fakta pertarungan politik untuk merebut kursi panas kepresidenan. ANDA juga melakukan hal yang sama. Berkeliling nusantara baik secara langsung hadir maupun tidak, untuk menawarkan berbagai hal pada kami lewat janji-janji dan ungkapan lainnya yang sangat mengundang simpati kami, yang bertujuan mengharapkan kami untuk memihak pada ANDA lewat mencontreng agar kelak bangsa ini memiliki presiden dan wakil presiden yang mantap dan berdedikasi (menurut versi ANDA). Aku tidak tahu, apakah cara itu hanya demi kepentingan sendiri, agar rakyat memilih ANDA dan di kemudian hari ANDA melupakan kami, meski kami ini adalah sosok yang berperan aktif dalam kemenangan ANDA?
Kini pemilu sudah usai. Tercatata bahwa suara terbanyak jatuh pada nomor urut ANDA. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono kembali sebagai pemenang dalam periode 2009-2014, dan kini didampingi oleh bapak Boediono. Dengan kata lain, rakyat Indonesia kembali mempercayakan tugas itu pada ANDA meskipun wakilnya harus diganti. Dengan usainya pemilu tahun ini, aku terhenyak antara kagum dan meragu. Hal yang membuat aku ragu ialah ketika janji hanya tinggal janji. Itulah yang sering terjadi. Namun yang aku harapkan ialah hendaknya janji itu ANDA anggap utang terbesar dalam hidup ANDA sebab dengan demikian akan timbul usaha dari dalam diri untuk senantiasa mengupayakan pelunasan utang tersebut. Kini rakyat hanya tinggal menunggu kapan janji-janji itu terealisasikan sebagaimana yang ANDA maksudkan selama masa kampanye, karena itu adalah cita-cit ANDA, jika ANDA menganggapnya sebuah cita-cita yang harus ditempuh dengan cara apapun, demi rakyat Indonesia tentunya.
Apalagi di saat sekarang, alam sedang menguji negeri kita ini. Belum sembuh luka di Tasik Malaya, Ranah Minang, Padang-Pariman kembali bersimbah darah dan beruraian air mata akibat dahsyatnya gempa berkekuatan 7,6 SC. Ranah Minang lululantak. Tak ada lagi rumah untuk bernaung sebab telah ata dengan tanah. Tak ada lagi beras untuk dimasak dan tak ada air bersih untuk diminum. Kini derita rakyat semakin membongkah.
Masihkah ANDA merasa nyaman di ruangan ber-AC, lengkap dengan makanan enak serta fasilitas yang super mewah, sedangkan rakyat ANDA hanya tinggal memiliki nafas yang terengah serta keadaan psikologis yang tidak baik akibat trauma, dan bernaung di bawah tenda?
Demikianlah surat ini yang kutulis dari lubuk hati sebagai rakyat Indonesia yang merindukan sosok presiden dan wakilnya berpihak pada rakyat kecil dan member perhatian pada kami yang masih terkungkung dalam dahsyatnya badai kemiskinan. Harapanku, presiden dan wakil presiden yang terpilih pada periode 2009-2014 menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang berbhineka tunggal ika, dan tetap pada poros kehidupan dalam menjalankan visi dan misi sebai wakil rakyat yang merakyat. Semoga!

Dariku,

BENGET SIMANULLANG.

Sunday, October 25, 2009

DI BAWAH PUING2 RERUNTUHAN-air mata utk PADANG-PARIAMAN...


Di bawah Puing-puing reruntuhan
Oleh: Benget Simanullang

Gelap! Seketika gelap menyelimuti bumi di mana aku berpijak, padahal belumlah waktunya saudari malam menutupi bias-bias mentari senja di sore hari. Entah apa yang terjadi.
Gelap!
Tak ada bunyi yang terdengar. Serasa dunia di mana aku berpijak telah digantikan entah sama apa. Aku tak tahu.
Suatu tempat indah kudatangi. Saat itu juga. Aku tidak tahu entah kenapa aku berada di tempat itu. Kilau mentari tak mampu membakar kulitku. Hembusan angin membuat aku serasa seperti di kutub utara. Begitu sejuk yang berakhir dengan kedinginan. Kemudian sepasang malaikat menghampiriku lengkap dengan kain putih dan sepasang sayap yang melambai-lambai bagaikan dihempas angin. Kilau kemilau yang begitu lembut namun memancarkan sinar yang menghiasi sosok mereka, serasa aku tertarik ingin mendekat dan menemani mereka dalam peraduan yang menyenangkan. Bisa terbang ke sana ke mari dan bernayanyi ria dengan suara merdu serta diiringi nafiri dan sangkakala. Begitu syahdu!
Kemudian aku kembali ke duniaku. Masih gelap! Tak ada seorangpun yang bisa menemani aku. Sekarang. Tapi ternyata ada orang juga di sekitarku. Kenapa mereka tak mau bicara denganku? Apakah mereka tidak melihatku? Atau apakah mereka benci kepadaku? Pernahkah aku berbuat salah kepada mereka sehingga mereka tak mau bicara denganku? Aku sudah berusaha menyapa dan bahkan memegang tangan yang tepat ada di sebelahku, tapi tak ada reaksi apapun dari mereka.
Kupejamkan mataku. Tiba-tiba sepasang malaikat itu kembali mendatangiku. Tentu dengan senyuman yang begitu manis dan indah. Masih sama seperti pertama kalinya aku bertemu dengan mereka. Masih penuh dengan sinar dan pakaian putih. Hanya sekarang di tangan salah satu malaikat itu ada sebuah mahkota yang begitu indah. Ingin sekali aku meraihnya dari mereka sebab aku ingin sekali mahkota itu disematkan di kepalaku. Aku benar-benar menginginkannya. Dan mereka pasti tahu apa yang ada di benakku sekarang, sebab kata ibuku dulu, malaikat itu adalah kaki tangan Tuhan. Mereka serba tahu, sama dengan Penciptanya. Bagi malaikat yang masih setia, mereka akan terus dipakai oleh Tuhan untuk mengamati dunia ini, namun bagi malaikat yang memberontak, akan diusir dari lingkaran para malaikat. Merekalah malaikat yang ingin menyamakan diri dengan Sang Pencipta. Itulah Lusifer! Yang sekarang kita sebut dengan iblis.
Aku hendak melangkah ke arah mereka. Tentu dengan senyum yang lebar sebab jauh di lubuk hatiku, mahkota itu sangat kuinginkan menjadi milikku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Seolah-olah ada yang menahan. Bahkan terasa sakit pada saat kupaksakan menarik kakiku. Entah apa yang terjadi. Aku sama sekali tidak berdaya atas tubuh yang telah kumiliki selama ini. Meski Tuhanlah yang meminjamkan nafas bagiku agar ragaku bisa hidup seperti sekarang, tapi aku sudah merasa bahwa ragaku ini adalah milikku satu-satunya yang sangat berharga. Tapi aku tak tahu kenapa sekarang aku tidak bisa membawa dengan bebas ragaku yang sudah hampir empat puluh tahun di bawah kontrol dan keinginkanku untuk melakukan apapun yang hendak kulakukan dengan badanku ini.
Kini suasana gelap kembali menghitamkan pandanganku. Butiran peluh mulai berjatuhan dari wajahku. Inilah hari pertama aku merasa sangat ketakutan dalam hidupku. Entah karena apa. Semuanya kini terasa sesak. Aku sangat khawatir.
Di mana suamiku?
Di mana anak-anakku?
Kenapa mereka tidak mencari aku?
Biasanya mereka sudah datang meminta sesuatu padaku. Khususnya makan malam, sebab rasanya sudah malam saat ini. Pertanda perut sudah mulai keroncongan. Aku lapar. Tapi rasa laparku itu masih dikalahkan rasa dahagaku yang kini telah membuncah. Adakah orang yang ingin memberiku segelas air pelepas dahaga ini? Mengapa tak ada orang yang peduli terhadap diriku? Biasanya anak sulungku akan membawakan segelas air bagiku jika dia tahu kalau aku sedang kehausan.
Aku tak mampu lagi menahan rasa sakit yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh terkulai lemas. Aku sangat merasa sendirian sekarang. Entah di mana mereka yang selama ini aku sayang. Aku ingin sekali mengulurkan tangan ini meminta pertolongan.
Tiba-tiba ada yang meraih tanganku. Aku terbangun dari tidurku yang hanya sekejap membuat aku melupakan rasa sakit yang dengan sekejap juga menghampiri hidupku. Entah derita apa ini. Datangnya sekejap mata. Ketika aku berkedip semuanya telah berubah. Kumasuki dunia baru yang antah berantah. Penuh dengan noda dan luka. Darah…
Sepasang malaikat itu tersenyum manis melihat kerancuan yang ada dalam benakku saat ini. Dan seketika itu juga dari belakang mereka melongok kepala seorang bocah seusia anakku, Roni. Dia memandangiku seolah malu dan takut. Namun sebelah matanya tertuju kepadaku. Pancaran matanya seakan mengingatkan aku pada anak bungsuku yang dari tadi tidak kelihatan. Biasanya jam segini dia sudah minta diajari bikin PR matematika. Tumben kali ini dia tidak mengganggu aku dalam kesibukanku.
“Roni???” Kenapa Roni bersama malaikat itu? Dan kenapa para malaikat itu membawa anakku bersama mereka. Sebenarnya sangat indah bersama mereka, tapi aku masih tidak tahu apa motif mereka bersama putra bungsuku itu. Roni berlari menuju tempat seorang perempuan berdiri. Kira-kira dua belasan tahun. Seketika itu juga aku mengingat Anggi, putri pertamaku. Dari punggungnnya tampak bagaikan putri kesayanganku yang lahir dua belas tahun yang lalu. Aku melahirkannya antara meregang nyawa. Aku diperkirakan tidak akan sanggup melahirkannya dengan normal karena dari hasil pemeriksaan anak yang aku kandung sangat gemuk. Di atas ukuran bayi pada umumnya. Akhirnya aku melahirkan dengan cara caesar. Lama berselang bekas operasi di perutku tak kunjung kering. Ada infeksi yang membuat aku tak sadarkan diri selama dua minggu. Selama dua minggu juga, aku tak bisa memberikannya asi. Sungguh kasihan…
Benar dugaanku. Ternyata gadis yang berdiri itu adalah Anggi, puteri sulungku satu-satunya. Ngapain pula dia ada di tempat ini? Dan kenapa mereka tak lekas memelukku setelah mereka melihat aku telah ada di hadapan mereka? Tidak mungkin mereka tidak melihat aku sedangkan mata mereka tertuju kepadaku. Karena mereka tidak menghampiriku, akhirnya kuputuskan untuk menghampiri mereka. Aku coba melangkah…
Aku tidak mampu. Serasa ada beban yang menghimpit kedua kakiku. Bagaikan bongkahan salju yang sangat menyakitkan dan tak dapat untuk aku singkirkan. Aku butuh pertolongan, sebab aku ingin sekali bersama kedua anak dan suamiku. Di mana suamiku? Dari tadi aku belum melihat wajahnya. Aku sangat mencintainya. Dia telah memberiku dua anak yang cantik dan tampan seperti dirinya. Perkawinan yang tak direstui tetap kami pertahankan hingga kami dikarunia dua anak. Entah apa yang membuat ayah dulu tidak setuju kalau aku menikah dengannya. Ayah tak pernah mau memberi jawaban jika aku menanyakan hal itu. Bahkan ibu selalu ditolak jika ingin membicarakan hal itu juga. Dan sekarang aku tidak bisa lagi mendengar jawaban ayah yang sesungguhnya sebab dia telah dipanggil Sang Khalik satu tahun yang lalu. Dan kamipun memutuskan untuk menikah meskipun tanpa kehadiran ayah kala itu. Terasa sedih. Namun akan terasa jauh lebih sedih jika pernikahan kami dibatalkan. Toh setelah kehadiran anak pertama kami, ayah datang menjenguk dengan bahagianya, sebahagia waktu dia berpulang, sebab anak-anak yang ditinggalkannya sudah mapan semua.
“Di mana suamiku?” Malaikat itu tak menjawab. Mereka hanya melontarkan senyum yang membuat aku semakin ingin menjauh dari mereka. Kedua anakku masih asyik berdiri menatap aku dalam ketidakberdayaanku sekarang. Entah apa yang mereka inginkan. Aku semakin layu.
Ini sudah hari keempat aku merasakan semua keanehan ini. Hingga pada suatu saat yang mengherankan karena aku ternyata sudah berada di sebuah ruanga rumah sakit. Sebelumnya aku tak merasa diriku sakit. Tapi kenapa aku berada di rumah sakit? Aku tersadar. Di sampingku sang suami yang kucintai dan kedua anakku berdiri dengan tatapan bahagia. Aku menitikkan air mata, entah karena apa. Yang pasti, karena aku akhirnya bisa bertemu mereka. Di kehidupan yang nyata. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi tidak bisa. Meski aku berusaha, namun usahaku tetap gagal. Ada yang aneh terasa di kedua kakiku. Orang-orang di sekitarku tak bisa berkata apapun. Mereka hanya memandangiku dengan rasa cemas dan khawatir. Sampai aku menemukan diriku yang sekarang, tanpa kaki. Karena aku telah diamputasi.
Kedua malaikat itu datang mengunjungi aku bahkan sampai ke tempat di mana aku sekarang berbaring tanpa kaki. Kini tanpa mahkota, sebab mahkota yang sebenarnya telah aku temukan di sini, di antara khalayak ramai dan para wartawan yang ingin meliput diriku karena terbebas dari maut, di bawah puing-puing reruntuhan.

Turut berduka cita atas musibah yang menimpa Padang-Pariaman, Sumatera Barat.

Sunday, October 4, 2009

TOOLS OF OCCUPATIONAL THERAPY

The pecil grip

Pencil grip yang bersifat kenyal, sangat nyaman digunakan dan latex free. Terdapat huruf R dan L sebagai petunjuk untuk meletakkan ibu jari





Stetro Pencil Grips
Diciptakan untuk membantul memperkuat tripod graps (index-middle finger-thumb)


Therapy Putty
Non-toxic, non-oily dan latex free, digunakan sebagai latihan untuk memperkuat jari tangan.
Konsistensi:
- warna orange: soft
- warna hijau : medium
- warna biru : firm
- warna ungu : extra firm





Corn Brushes/ therapy brush
Diciptakan oleh Wilbarger sebagai alat untuk mengurangi gejala sensory defensiveness (catatan: hanya dapat dijual kepada terapis yang telah melalui pelatihan tentang Sensory defensiveness)




Lip siren
Digunakan untuk oral stimulasi terutama untuk menstimulasi lip closure

Friday, October 2, 2009

Gempa yg mahadahsyat...

Masih segar diingatan kita bencana gempa dan tsunami yang melululantakkan
Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 yang lalu. Kemudian disusul gempa di Yogyakarta pada tahun 2005. Dan kemudian disusul lagi gempa di Tasik Malaya yang kita rasakan bersama di Jakarta. waktu itu saya berada di lantai 4 RSCM sedang mengikuti kuliah, dan akhirnya semua berhamburan, takut terjadi apa-apa. Dan yang sekarang, gempa di Sumatera Barat (Padang-Pariaman). Korban ditaksir 1.100 orang yang meninggal.

Sangat lucu ketika tak sedikit orang beranggapan bahwa Tuhan sedang MARAH pada manusia. Dia mendatangkan segala penderitaan lewat alam ciptaan-Nya.
Seorang teman di kampus mengatakan bahwa lokasi-lokasi gempa yang terjadi selama di Indonesia ialah lokasi-lokasi yang memiliki banyak noda atau yang sangat tidak disenangi oleh Sang Khalik. Karena itu Tuhan murka. terjdilah bencana.

MUngkinkah Tuhan menghukum ciptaanNya sendiri??
Mungkinkah Tuhan senang atas penderitaan yang dialami umat-Nya???
Tuhan itu Maha Pengasih, MahaPenyayang dan juga Mahapengampun.
Dia tak pernah berencana untuk memusnahkan BUMI.
Gempa dan bencana alam lainnya hanyalah bagian dari alam yang sepatutnya kita perhatikan dan seyogiyanya kita rawat bersama agar alam itu sendiri tidak MURKA.

Duka itu adalah duka kita bersama.
Tangis itu adalah tangis kita bersama.

Monday, September 28, 2009

CERPEN


AKU INGIN PULANG

Oleh: Benget Simanullang

Aku ingin pulang.

Seperti yang dilakukan orang-orang di saat menjelang lebaran. Aku rindu akan kampung halaman, ibu, ayah, kakak, adik serta saudara-saudara yang kutinggalkan enam tahun yang lalu. Di kampung.

“Mas, bagaiamana kehidupan di Jakarta? Kalo aku ndak salah tiap lebaran Mas Parto pulang toh ke kampung?”

“Yah, begitulah Din. Tapi yang jelas di Jakarta jauh lebih banyak kesempatan dari pada di kampung ini. Di sana apapun bisa kita kerjakan. Dan mendapatkan duit. Itu toh yang kita harapkan?”

Mas Parto sembari membuka dompet dan membayarkan kopi yang barusan kami teguk di warung dekat sungai, tempat di mana setiap pemuda berkumpul, apalagi di musim lebaran seperti ini. Para perantau akan menunjukkan taringnya masing-masing di sana, dengan berbagai gaya, entah itu kesombongan, atau hanya karena pola kehidupan dan tingkah laku yang sudah berubah setelah menjadi penghuni kota metropolitan, Jakarta. Mas Parto turut membayar kopi yang aku teguk pagi ini.

“Wah, terima kasih banyak telah membayar kopi saya, Mas.”

“Ndak usah terlalu begitu. Klo di Jakarta mah itu hal kecil.”

Kesombongan mulai tampak. Tapi walaupun demikian, aku semakin tertarik untuk mencoba ke Jakarta. Aku semakin terperangkap dengan apa yang Mas Parto utarakan mulai dari tadi pagi kami memesan kopi bersama, hingga waktu memisahkan kami. Aku harus ke ladang untuk membersihkan sebidang tanaman singkong, sedangkan Mas Parto akan pergi ke tempat di mana orang-orang berduit memanjakan diri mereka. Oh… alangkah nikmat hidup mereka. Akau semakin ingin ke Jakarta. Seperti Mas Parto yang hanya dengan modal nekat. Tanpa ijazah!

***

Kira-kira tiga hari kemudian aku bertemu lagi dengan Mas Parto di sebuah warung kopi yang sama. Dengan gaya yang jauh berbeda dengan pemuda-pemuda kampung, dia bergabung bersama kami. Seperti biasa, dia akan membayar semua pesanan untuk kami pemuda kampung yang hanya tinggal di kampung, yang di matanya tidak memiliki uang banyak. Memang benar, kami hanya memiliki uang pas-pasan. Namanya juga di kampung. Pendapatan tidak seberapa. Paling seminggu sekali mendapat uang dari hasil jerih payah yang sangat melelahkan satu minggu ini, mulai dari hari Senin sampai Sabtu. Itupun hanya lembaran-lembaran puluhan ribu.

“Din…” Mas Parto mendekat ke arahku sesaat setelah teman-teman yang lain sudah pada meninggalkan warung, menuju ladang tempat mengais rezeki.

“Iya, Mas Parto!” kulihat di matanya ada sesuatu yang hendak disampaikan. Entah apa. Aku tinggal menunggu mulutnya terbuka untuk menyampaikan tujuannya.

“Kamu ndak bosan begini terus di kampung???”

“Maksud Mas Parto ini apa toh?”

“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Din? Apa kamu ndak ada niat merantau?”

“Ke mana Mas?”

“Yah ke Jakarta-lah! Di sana kamu ini bisa ngapain aja, dan semuanya bisa jadi duit, Din. Bukan kayak di sini, kamu tiap hari kerja tapi upahmu hanya dua puluh ribu sehari. Apa kamu pikir itu cukup untuk hidup kamu kelak? Kamu masih muda loh Din. Masa mudamu ini jangan disia-siakan. Mumpung masih muda kamu harus kerja keras buat masa depan.”

Mendengar perkataan Mas Parto, aku semakin yakin kalau dia adalah seorang yang sukses di tanah rantau, Jakarta. Aku semakin ingin mengikuti jejaknya. Sebab aku tahu siapa Mas Parto yang dulu. Hanya seorang lulusan SMP dengan nilai yang pas-pasan. Tapi di mataku sekarang dia telah berubah menjadi seorang yang sukses. Entah apa pekerjaannya di Jakarta, yang jelas secara implisit dia selalu menggambarkan bahwa Jakarta memberi dia segudang kesempatan untuk meraih uang, suatu bentuk riil yang selalu dicari manusia.

Uang adalah segalanya. Jika orang tidak memiliki uang, niscaya mereka dapat melakukan apapun. Dengan uang segala sesuatu yang mereka inginkan dengan segera akan terkabulkan. Segalanya. Ingin bepergian, harus ada uang. Ingin beli sesuatu, harus ada uang. Bahkan di Jakarta, untuk kencing sekalipun, harus ada uang. Karena itu uang sangat berpengaruh dan manusia akan melakukan apapun demi mendapatkan uang.

Di TV, menjelang hari lebaran banyak diberitakan pencurian-pencurian dengan berbagai modus. Pengakuan mereka karena ingin membeli perlengkapan lebaran, tapi karena tidak mempunyai uang mereka nekat untun mencuri. Mereka rela menodai kesucian puasanya, yang telah mereka mulai dari awal puasa, satu bulan yang lalu, dan harus dikotori sesaat menjelang hari kemenangan yang fitri.

Ada juga yang berpura-pura membuka koperasi simpanan untuk persiapan lebaran. Orang yang tidak mengerti dan tidak menaruh curiga akan tindak kejahatan, mereka rela dan bersedia menjadi nasabah dengan diiming-imingi semua uang beserta bunganya akan diserahkan menjelang lebaran tiba. Antusiasme para calon nasabah terlebih karena ada ‘bunga’ yang akan diterima, lumayan besar, dalam waktu yang sangat singkat. Cerdas juga orang yang memulai usaha (penipuan) itu. Dan para nasabah-pun akhirnya tertipu. Uang mereka dari yang nominalnya kecil samapi besar, dibawa kabur oleh si pengelola yang tidak bertaggung jawab itu. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan dengan demikian, dia telah menodai kesucian ramadhan.

Itu semua modus demi mendapatkan keuntungan sekejap tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Mereka melakukan itu karena tidak memiliki uang dan demi mendapatkan uang. Jadi, benar ungkapan yang mengatakan bahwa uang itu adalah segalanya.

“Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran hendak merantau ke Jakarta, Udin?”

Si Mak dengan nada yang agak keberatan menginterogasi aku.

“Lebih baik kamu di sini saja bantu-bantu Mak kerja di kebon. Lagian Mak udah tua, dan butuh teman untuk mendampingi Mak. Bapakmu juga sudah sakit-sakitan. Mbakmu sudah pada kawin semua, hanya kamu yang tinggal yang kami harapkan bisa menjaga kami di sini. ”

“Udin mau cari uang yang banyak, Mak! Di Jakarta tempatnya!”

“Jakarta itu kejam, Din. Kalau kamu ndak punya apa-apa, kamu ndak bakalan dipake di sana. Dulu sudah banyak teman Mak yang terpaksa dipulangkan sama pemerintah karena di Jakarta tidak kerja. Mereka jadi pengemis dan pemulung. Ada yang jadi pengamen, ada yang jadi copet, ada juga yang jadi pelacur! Itu semua tidak mereka inginkan tapi keadaanlah yang membuat begitu anakku. Mak takut kamu juga akan menjadi seperti mereka jika kamu bersikeras pergi ke Jakarta untuk merantau.”

“Tapi Mas Parto bilang kalau di Jakarta kita bisa cepat mendapat uang, Mak! Udin juga ingin seperti Mas Parto. Punya banyak uang dan bisa membahagiakan ibu-bapaknya. Udin juga ingin buat Mak bahagia.”

“Mak sudah bahagia kalau bisa melihat kamu di samping Mak. Bagi Mak, uang bukan segalanya, Din. Kebahagian itu tidak diukur dengan uang.”

Mak menarik napas panjang.

“Kamu tidak lulus SMA, Din. Kamu hanya punya ijazah SMP. Di Jakarta sudah banyak yang sarjana. Pasti mereka lebih diutamakan untuk bekerja dari pada orang yang hanya lulusan SMP kayak kamu. Dan kamu harus tau, di Jakarta banyak sarjana yang menganggur, Udin.”

“Tapi Mas Parto juga hanya lulus SMP kan , Mak? Kenapa dia bisa sukses?”

“Kamu tau apa pekerjaan Parto yang sebenarnya di Jakarta? Dia pernah cerita tentang pekerjaannya?”

Aku menggeleng. Memang selama ini Mas Parto tak pernah ngasih tau apa pekerjaannya di Jakarta. Dia hanya menceritakan bahwa Jakarta lahan uang yang bisa membuat orang cepat kaya. Dia tidak pernah menceritakan kesusahan-kesusahan yang ada di sana.

“Di Jakarta kamu kerja apa, Mas Parto?”

Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. Aku hanya ingin tahu saja.

Mas Parto terdiam. Dia memandangiku dengan tatapan tajam. Aku takut dia marah karena pertanyaanku itu.

Benarkah dia marah???

Aku agak merasa tenang setelah dia akhirnya tersenyum. Aku kini bisa bernapas lega. Sebab Mas Parto adalah seorang yang pemarah. Jika dia tidak senang dia akan memukul siapapun yang ada di dekatnya. Mungkin itu sudah diturunkan atas dirinya. Tapi yang jelas ibu-bapaknya tidak menyerupai karakter Mas Parto. Mungkin dari nenek atau kakeknya. Bahkan waktu SD dia pernah melemparkan penghapus papan tulis ke guru yang menuding dia sebagai tukang bolos dan tidak tahu apa-apa dalam pelajaran. Dan masih banyak kelakuan-kelakuan dia yang tidak terpuji sehingga harus berpindah-pindah sekolah. Karena itulah kami bisa sekelas dari kelas enam sampai lulus SMP, padahal rentang usia kami berkisar empat tahun. Intinya, dia seorang pemarah dan keras kepala.

“Kerjaan saya banyak, Din! Kamu akan kelak tau kalau sudah ada di Jakarta.”

Mas Parto tidak mau memberitahukan apa sebenarnya pekerjaannya di Jakarta. Yang jelas dia sibuk dengan pekerjaan yang banyak. Itu yang terlontar dari mulutnya. Apa dan bagaimana bentuk pekerjaan itu belum bisa tergambar di benakku sebab tidak ada gambaran yang dia lontarkan entah berprofesi sebagai apa.

***

Tahun 2003 aku tiba di kota Jakarta. Bersama Mas Parto yang telah menjanjikan banyak hal dan membuat aku seolah terhipnotis dengan cerita-cerita yang dia bacakan sewaktu masih di kampung. Bermodalkan seratus tujuh lima puluh ribu rupiah dan tentu dengan ijazah SMP, aku merantau ke Jakarta. Diberangkatkan dengan isak tangis Mak dengan ketidaksetujuannya atas keputusanku ini untuk mencari makan di kota orang, Jakarta.

Aku selalu ikut ke mana Mas Parto melangkah. Mulai dari stasiun Gambir hingga ke sebuah perkampungan yang jauh lebih menyedihkan dari pada kampung halamanku yang telah aku tinggalkan demi secerca harapan yang selalu menyibak pertanyaan, apakah bisa terwujud. Entah sampai kapan. Yang jelas suatu pertanda bahwa sekarang aku telah jauh dari Mak dan harus bisa mandiri di kota, yang kata Mak sangat kejam. Jakarta, apa yang bakal terjadi denganku???

Kami tiba di suatu tempat. Di sana sudah banyak orang yang tiduran dan sebagian hilir mudik entah sedang melakukan apa.

Tempat apa ini?

Di mana rumah Mas Parto?

Di sini?

Bukan! Ini bukan rumah.

“Ayo masuk!” Bagaikan tuan rumah yang baik dan ramah, Mas Parto membukakan pintu buat tamunya. Tapi saat ini tak ada pintu yang dibuka sebab tempat itu bagaikan ruang hampa tanpa pintu. Lembab dan tak bersahabat.

Ini adalah tahun ke enam aku tinggal di sini. Tak pernah pulang ke kampung bahkan saat Mak meninggal karena penyakit ganas yang dideritanya jauh sebelum aku meninggalkannya sendirian. Selama enam tahun ini aku menghabiskan waktu dengan bekerja. Memulung dari satu tempat ke tempat lain. Tak ada yang menerima aku bekerja seperti yang pernah Mak katakan sewaktu aku masih bersamanya, di kampung. Memang benar, para sarjana yang bahkan lulus dengan predikat cum laude masih banyak yang menganggur. Dari satu perusahaan ke perusahaan lain telah aku coba, dan tak satupun yang mau menerima aku. Dan koneksi juga tidak punya. Seandainya ku punya koneksi, aku yakin akan bisa bekerja sesuai dengan yang aku harapkan. Sebab sadar atau tidak sadar, budaya nepotisme masih merajalela di negeri ini. Entah sampai kapan.

Tak seberapa uang yang aku hasilkan dari pekerjaan itu. Hanya cukup makan dan minum dalam satu hari. Dan terkadang aku harus ngutang agar bisa bertahan hidup sampai detik ini. Aku mengerjakan pekerjaan yang di mata orang lain mungkin nista, tapi halal bagiku, sebab aku tak mau mengikuti jejak Mas Parto.

Lima bulan yang lalu Mas Parto ditangkap polisi karena dia membunuh seorang gadis yang tidak mau menyerahkan sejumlah uang dan perhiasannya saat gadis itu pulang dari tepat kerjanya. Ternyata dia seorang pencopet. Dan tidak segan membunuh jika ada yang menghalangi niatnya. Sudah sering dia membunuh dan baru kali ini ketahuan. Penjara menjadi rumahnya. Jauh lebih bagus dari rumah kami yang terdahulu, yang hingga kini masih aku tempati untuk bersinggah dari teriknya mentari di siang hari dan basah di waktu hujan meski tetap bocor terdapat di sana-sini. Inilah tempatku sekarang di Jakarta, kota idaman setiap orang mencari sesuap nasi, mulai dari orang berdasi hingga orang yang mendorong gerobak. Kota penuh teka-teki yang mampu menghalalkan segala cara oleh setiap orang yang merasa kalah dalam persaingan. Terjadilah kekerasan, penindasan hingga para konglomerat dan penguasa negeri ikut ambil andil dalam pemerasan, itulah korupsi. Bahkan yang memberantas korupsi, ikut korupsi. Mereka terjebak ke dalam karung yang hendak mereka bersihkan dari tikus-tikus yang memiliki gigi tajam membocori karung, sehingga mereka menjadi bagian dari tikus itu.

Sudah enam tahun aku di sini. Di Jakarta. Tanpa harapan bisa hidup menjadi lebih sejahtera. Mungkin ini adalah suratan takdir yang diberikan sang Khalik padaku. Namun sebelum kembali pada-Nya, hanya satu keinginanku yang sudah lama aku pendam dalam kemelaratan jiwa, yang entah kapan bisa aku penuhi.

Aku ingin pulang…

Dalam keheningan senja sebuah kamar kost

Ramadhan yang fitri

Jakarta, September 2009

Friday, September 25, 2009

CERPEN


KEHIDUPAN CINTA

Oleh : Benget Simanullang

Kata orang cinta itu ibarat sekuntum bunga. Jika tak disiram dan dirawat akan lisut, layu dan mati. Kata orang lagi, cinta itu ibarat lentera. Jika tak selalu diisi dengan minyak, akan redup dan padam. Lalu… mati! Gelap. Ada juga orang berkat kalau cinta itu buta, tak pernah memandang dari satu sisi kehidupan. Dan juga orang berkata kalau cinta itu ibarat cita-cita. Harus terus diraih, dikejar dengan segala usaha meskipun banyak rintangan menghadang, menentang awan, menyerang lawan bahkan teman, sahabat dan saudara sedarah, cinta itu harus dipertahankan.

Lalu seorang teman bergurau di sampingku. Namanya Dimaz.

“Bagi saya, jika ada orang yang bertanya cinta itu apa, pasti saya akan menjawab…”

“Apa…?” Rahun yang dengan sekejap meneguk orange juice – nya tak sabar menanti sebuah pernyataan yang hendak diutarakan oleh Dimaz.

“Cinta itu ibarat kentut.” Dimaz setengah berbisik.

“Ha… ha… ha…” kami yang mendengarnya tertawa lepas. Dimaz pasti agak sakit hati, sebab itu sudah menjadi tabiatnya. Jika segala sesuatu yang dia ungkapkan ditertawai orang lain, dia merasa kalau harga dirinya telah diinjak-injak.

“Gokil! Kamu pikir…”

tiba-tiba Dimaz memotong,

“Saya tidak mikir apa-apa. Kalian tahu nggak, kalau kentut ditahan-tahan pasti akan sakit perut. Nah… begitu juga dengan cinta.” Dimaz sembari melap mulutnya dengan tissue. Aku hanya tersenyum. Benar juga sih, cinta itu tidak boleh dipendam. Kalau kentut ditahan akan sakit perut, kalau cinta dipendam akan terasa sesak lalu berujung pada sakit, sakit dan sakit…

“Ya, itu benar! Karena itu, jika kita cinta pada saat pertama kali melihat seseorang, kita harus mengatakan langsung pada saat moment itu ada. Sebab jika tidak, semuanya akan sirna. Kita nggak bakal dapat kesempatan lagi sebab kesempatan itu hanya datang sekali saja.” Alvin mengutarakan teorinya. Semua kami yang mendengarnya manggut-manggut. Aku yakin pada saat itu Alvin pasti besar kepala sebab kami yang kini berada di samapingnya sangat antusias mendengar apa yang dia katakan. Ya benar, kesempatan tak pernah datang dua kali.

“Tapi saya masih skeptis!” tukas Rahun.

“Kok kamu masih skeptis?” Alvin meletakkan kembali gelas yang berisi air mineral yang tadinya hendak dia teguk.

“Kalau kita buru-buru mengungkapkan cinta itu nggak baik. Bisa berabe!”

“Emangnya kenapa?” Giring menunda melahap spaghetti­ – nya yang sudah hampir masuk ke mulut.

“Cinta itu jangan buru-buru. Gimana kalau cewek yang hendak kita tembak itu ternyata sudah punya bokin, tunangan atau lebih parahnya lagi, suami? Jadi kita harus kudu observasi dulu. Kalau sudah merasa klop, nggak ada lagi rintangan, baru kita buat strategi untuk mengungkapkan isi hati.” Rahun berapi-api menyampaikan apa yang menurutnya baik.

“Teori kamu itu kampungan!” timpal Alvin.

“Kampungan apanya?” Rahun tak terima dikatain kalau teorinya kampungan.

“Asal kamu tahu ya, di zaman ini nggak ada lagi cinta yang butuh observasi. Kagak zamannya bro! Semua cewek sama saja, dan juga cowok!”

“Maksud kamu apaan? Saya jadi tambah bingung…” Dimaz mengeryitkan keningnya.

“Jangan pura-pura bego deh…! Masa sih kamu sebagai cowok nggak merasakan itu?” Alvin masih saja merahasiakan maksud perkataannya.

Suer, saya sama sekali nggak bisa nangkep maksud kamu…”

Bro, sekarang ini kalau ada yang lebih cantik bagi pria kayak kita-kita ini, dan lebih ganteng bagi gadis-gadis di luar sana, nggak bakalan teringat lagi sama yang di rumah. Yang ada di otak hanya yang ada di depan mata. Ingin memeluknya dan mungkin ingin melumatnya. Dan parahnya lagi, pasti ada pikiran di otakmu untuk mengawininya. Binal bangat, kan? Gitu potret manusia sekarang. Dunia selingkuh sudah merajalela, bro!

Aku semakin bingung mendengar pembicaraan itu. Pembicaraan seperti ini sudah menjadi kebiasaan kami; aku, Alvin, Giring, Dimaz dan Rahun di saat rest dari kerjaan, di kantin sambil mengisi perut yang sudah setengah hari belum terisi. Apalagi kalau topik yang diangkat adalah masalah cinta dan seks, semuanya pasti antusias.

Tak satu pun yang aku bantah dan tak satupun teori yang aku bagikan.

“Jadi menurut kamu nggak ada lagi cinta sejati, gitu?” Giring memastikan Alvin.

Kalau itu sih saya nggak bisa pastikan! Tapi yang jelas, manusia itu sudah seperti binatang…” Alvin setengah bersuara. Aku spontan terkejut karena tak menyangka Alvin menilai manusia sekarang separah itu. Lalu Alvin melanjutkan,

“Mereka pengennya gonta-ganti pasangan. Pengen tidur dengan wanita yang begini, dengan lelaki yang begono dan yang begunu. Intinya, nggak pernah puas denga satu merk.”

“Shampo kaliii…” Rahun langsung menyahut.

* * *

Papa. Aku langsung teringat sama papa. Papa adalah sosok yang sangat baik, perhatian sama isteri dan anak-anaknya, tidak pelit dan masih banyak lagi kebaikan yang sudah mendarah-daging dalam dirinya. Hanya satu penyakitnya yang aku yakin nggak bakal pernah bisa hilang lenyap dari raganya.

Wanita. Itulah penyakitnya. Papa nggak bakalan tahan kalau melihat cewek yang cantik. Air liurnya pasti akan meluber. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang telah diinginkannya itu. Apapun rintangannya. Sampai titik darah penghabisan dia akan terus berusaha. Pahlawan kaliii... Untuk menyembunyikan kedoknya itulah mungkin papa menghipnotis kami agar tak pernah merasa curiga sedang apa papa di luar sana. Mungkin dulu itu bisa dilakukannya, tetapi sekarang nggak lagi sebab aku sudah besar dan telah mengerti tentang kehidupan. Dan mama-lah yang menjadi korban akal bulus papa.

Jadi apa yang Alvin katakan itu benar adanya. Dan papa-lah salah satu contoh yang bisa diangkat sebagai gambaran para suami (lelaki) yang tidak pernah puas dengan satu merk. Dia sangat hoby memakai merk-merk lain. Suka main perempuan di luar sana. Berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Bahkan aku pernah melihat papa bersama seorang cewek yang masih berpakaian seragam es-em-u. mereka masuk ke sebuah hotel. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Yang pasti, menurut aku mereka akan bercinta.

Dua minggu kemudian setelah peristiwa dengan anak sekolahan itu, aku melihat papa lagi menggandeng seorang gadis yang adalah teman sekampus aku. Ternyata dia itu ayam kampus. Mereka berjalan mesra bak pasutri. Dalam hati aku berpikir, laris juga papa aku. Aku nggak benci sama papa, tapi aku menyesal punya papa sebinal dia. Mulai dari itu aku yakin kalau papa sering menggauli wanita selain mama. Entah sudah berapa adik aku di luar sana. Semoga saja papa selalu pakai kondom dan dengan demikian tak ada adik aku yang berkeliaran di luar sana. Dan tentunya aku sangat kasihan sama mama. Dia terus setia menunggu papa di rumah padahal papa selalu nyosor di tempat lain. Aku tak pernah mau membuka kedok papa sebab aku takut mama tambah sedih. Cukup hanya aku yang tahu. Kakak-kakakku pun tak perlu tahu.

* * *

Kok bengong aja, Ben? Lagi mikirin apa?” Giring membangunkan aku yang sedang asyik mengingat kelakuan sang papa.

Ngggak, aku nggak mikirin apa-apa kok! Aku hanya…”

“Hanya mikirin kenapa kamu jomblo melulu, iya?” potong Dimaz.

“Kamu tahu nggak kenapa kamu jomblo terus?” Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah Alvin yang merupakan sumber suara. Aku yakin kalau dia pasti akan mengeluarkan petuah yang kalau jujur aku katakan, nggak penting bangat!

“Sebenarnya kamu itu ganteng. Malah lebih ganteng dibanding kita semua yang ada di sini. Kerjaan bagus, body oke, tergolong atletis yang banyak digemari gadis-gadis. Saya yakin bangat kalau kamu banyak ditaksir cewek-cewek. Menurut saya, kamu sendiri yang buat kamu ngejomblo terus hingga detik ini. Kamu terlalu pesimis untuk mengungkapkan rasa cinta sama cewek.”

“Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah kissing, belum?” Rahun nyosor bertanya.

“Kamu masih perjaka kali, ya?” Giring menambahkan.

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol yang nggak berarti itu. Aku berusaha santai dan menenangkan diri dengan meneguk kopi yang ada di hadapanku. Mereka sangat penasaran dan aku yakin mereka pasti ingin tahu bagaimana aku dengan kehidupan cintaku. Tetapi aku memilih untuk tidak berkomentar. Kalau keempat temanku itu selalu bercerita bagaimana mereka melewati hari-hari mereka dengan cinta. Pasti banyak hal yang akan mereka kisahkan peristiwa pada malam sebelum hari ini. Jadi aku sangat kenal bangat dengan mereka.

Kalau Alvin sudah seratus kali ganti pacar. Dan dia sangat bangga dengan itu semua. Dia juga mengakui bahwa bercinta ala barat menjadi kebiasaannya. Free sex gitu deh. Dan begonya, cewek-cewek yang jadi bokinnya itu mau-mau saja. Pengen juga kali, ya…? Itulah pengakuan dia. Dan menurut aku apa yang dikatakannya itu sangat benar sebab aku sudah pernah melihat dengan mata kepala sendiri ketika aku sedang main ke kost-nya. Dia sedang hanyut dalam asmara dengan seorang cewek yang tak lain ialah Rashya, teman sekantor kami. Padahal Rashya bukanlah pacarnya. Kalau Giring, pengakuannya dia sudah nggak perjaka lagi saat dia masih kelas dua es-em-u. Dia bercinta dengan pacar pertamanya yang sekarang sudah nikah dengan pria lain meskipun pengakuannya pria itu jauh lebih jelek dibaning dirinya. Mereka putus karena agama yang berbeda. Kalau Dimaz mempunyai kisah cinta yang menjijikkan. Dia pernah bercinta dengan ibu kost-nya. Lantaran uang kost yang terlanjur habis, keperjakaannya yang menjadi bayaran untuk itu. Ketahuan sama suami ibu kost-nya dia dihajar dan diusir dari kost-nya itu. Rahun. Dia kelihatan alim. Agak pendiam. Dia itu orang yang terganteng di kantor kami. Hanya sayang, pacarnya nggak jelas. Dia lebih sering dan senang menghabiskan malam-malamnya dengan tante-tante. Katanya, di samping bisa memenuhi hasrat seks, uang terus mengalir. Memang Rahun orang yang nggak pernah merasa cukup kalau bicara mengenai uang. Dasar cowok murahan! Bagiku dia itu seorang gigolo. Itulah potret keempat temanku. Nggak ada yang beres.

* * *

Aku? Sebenarnya aku punya pacar. Hanya keempat sobatku itu nggak tahu karena aku nggak banyak cerita tentang itu. Namanya Zumi. Aku cinta mati sama dia. Cantik bangat dan seksi. Kadang-kadang aku minder menjadi pacarnya, apalagi kalau jalan ke mall. Tampangku serasa jelek bangat kalau di depan dia. Aku nggak tahu kenapa dia mau menerima cinta dariku. Tapi itu nggak penting. Yang jelas aku sudah senang karena bisa memilikinya.

Aku dan Zumi sudah satu tahun jadian. Aku memberi dia kebebasan. Nggak ada yang namanya aturan dalam hubungan kami. Harus saling percaya, itulah cinta yang sesungguhnya bagiku. Dan satu prinsip bagi aku, nggak bakalan ML sebelum aku sah jadi suami. Beda bangat kan aku sama bokap? Zumi sangat senang mendengar prinsipku itu.

“Ternyata masih ada laki-laki yang baik di dunia ini.” Zumi memuji.

“Masih banyak. Hanya sayang, lebih banyak yang jahatnya.” sahutku.

“Karena itulah saya cinta bangat sama kamu, Ben.”

“Aku juga cinta bangat sama kamu, Zum. Jangan tinggalkan aku, ya…” pintaku.

Aku percaya seratus persen dengan semua yang Zumi katakan. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi pacar Zumi. Di samping dia cantik ternyata juga sangat tulus. Aku ingin kalau boleh memilih dialah yang nantinya menjadi labuhan cinta hidupku. Berakhir dengan dia dalam peraduan. Suami-Isteri. Sekarang aku hanya tinggal menjaga dan merawat agar cinta yang ada terus hidup dan bernyala.

Tapi sial. Kepercayaanku ternyata disalah-artikan. Ketika aku hendak membeli cincin, hadiah ulang tahun untuknya, aku melihat dia sedang asyik berjalan dengan seorang pria lain yang sudah tua. Aku yakin dia itu bukan papanya sebab mereka sangat mesra. Darahku serasa berhenti mengalir. Dadaku sesak dan ingin meledak. Sekujur tubuhku bergetar, keringat dingin. Mataku terus tertuju ke arah mereka yang semakin tambah mesra itu. Aku masih nggak percaya dengan apa yang aku lihat ini. Zumi semakin mesra memeluk pria paruh baya itu. Dia memegangi wajah pria itu, mencium pipinya, dan lain-lain. Pria itu berbalik dan melihat ke belakang tapi tak menyadari keberadaanku di sana. Dan bisa jadi dia nggak kenal sama aku. What….???

Aku tambah terkejut, sebab pria itu… pria itu adalah papaku!

* * *

Aku memandang keempat temanku itu. Rasanya ingin aku tumpahkan air yang ada di dalam gelas yang masih aku pegang sekarang agar semuanya bisa diam dan tak membahas masalah cinta. Sebab jika pembicaraan membahas seputar cinta, aku jadi semakin tak bisa melupakan adegan yang aku saksikan sendiri, di mana kekasihku pacaran dengan papaku sendiri. Namun itu semua tak aku lakukan sebab menurutku mereka punya hak untuk berbicara sebab Negara ini sudah merdeka. Dengan demikian warga Indonesia berhak memberi pendapat meskipun banyak yang tidak membangun.

Jangan pernah salah mengerti apa itu cinta. Cinta itu indah dan kejam pada waktu!