Sunday, October 25, 2009

DI BAWAH PUING2 RERUNTUHAN-air mata utk PADANG-PARIAMAN...


Di bawah Puing-puing reruntuhan
Oleh: Benget Simanullang

Gelap! Seketika gelap menyelimuti bumi di mana aku berpijak, padahal belumlah waktunya saudari malam menutupi bias-bias mentari senja di sore hari. Entah apa yang terjadi.
Gelap!
Tak ada bunyi yang terdengar. Serasa dunia di mana aku berpijak telah digantikan entah sama apa. Aku tak tahu.
Suatu tempat indah kudatangi. Saat itu juga. Aku tidak tahu entah kenapa aku berada di tempat itu. Kilau mentari tak mampu membakar kulitku. Hembusan angin membuat aku serasa seperti di kutub utara. Begitu sejuk yang berakhir dengan kedinginan. Kemudian sepasang malaikat menghampiriku lengkap dengan kain putih dan sepasang sayap yang melambai-lambai bagaikan dihempas angin. Kilau kemilau yang begitu lembut namun memancarkan sinar yang menghiasi sosok mereka, serasa aku tertarik ingin mendekat dan menemani mereka dalam peraduan yang menyenangkan. Bisa terbang ke sana ke mari dan bernayanyi ria dengan suara merdu serta diiringi nafiri dan sangkakala. Begitu syahdu!
Kemudian aku kembali ke duniaku. Masih gelap! Tak ada seorangpun yang bisa menemani aku. Sekarang. Tapi ternyata ada orang juga di sekitarku. Kenapa mereka tak mau bicara denganku? Apakah mereka tidak melihatku? Atau apakah mereka benci kepadaku? Pernahkah aku berbuat salah kepada mereka sehingga mereka tak mau bicara denganku? Aku sudah berusaha menyapa dan bahkan memegang tangan yang tepat ada di sebelahku, tapi tak ada reaksi apapun dari mereka.
Kupejamkan mataku. Tiba-tiba sepasang malaikat itu kembali mendatangiku. Tentu dengan senyuman yang begitu manis dan indah. Masih sama seperti pertama kalinya aku bertemu dengan mereka. Masih penuh dengan sinar dan pakaian putih. Hanya sekarang di tangan salah satu malaikat itu ada sebuah mahkota yang begitu indah. Ingin sekali aku meraihnya dari mereka sebab aku ingin sekali mahkota itu disematkan di kepalaku. Aku benar-benar menginginkannya. Dan mereka pasti tahu apa yang ada di benakku sekarang, sebab kata ibuku dulu, malaikat itu adalah kaki tangan Tuhan. Mereka serba tahu, sama dengan Penciptanya. Bagi malaikat yang masih setia, mereka akan terus dipakai oleh Tuhan untuk mengamati dunia ini, namun bagi malaikat yang memberontak, akan diusir dari lingkaran para malaikat. Merekalah malaikat yang ingin menyamakan diri dengan Sang Pencipta. Itulah Lusifer! Yang sekarang kita sebut dengan iblis.
Aku hendak melangkah ke arah mereka. Tentu dengan senyum yang lebar sebab jauh di lubuk hatiku, mahkota itu sangat kuinginkan menjadi milikku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Seolah-olah ada yang menahan. Bahkan terasa sakit pada saat kupaksakan menarik kakiku. Entah apa yang terjadi. Aku sama sekali tidak berdaya atas tubuh yang telah kumiliki selama ini. Meski Tuhanlah yang meminjamkan nafas bagiku agar ragaku bisa hidup seperti sekarang, tapi aku sudah merasa bahwa ragaku ini adalah milikku satu-satunya yang sangat berharga. Tapi aku tak tahu kenapa sekarang aku tidak bisa membawa dengan bebas ragaku yang sudah hampir empat puluh tahun di bawah kontrol dan keinginkanku untuk melakukan apapun yang hendak kulakukan dengan badanku ini.
Kini suasana gelap kembali menghitamkan pandanganku. Butiran peluh mulai berjatuhan dari wajahku. Inilah hari pertama aku merasa sangat ketakutan dalam hidupku. Entah karena apa. Semuanya kini terasa sesak. Aku sangat khawatir.
Di mana suamiku?
Di mana anak-anakku?
Kenapa mereka tidak mencari aku?
Biasanya mereka sudah datang meminta sesuatu padaku. Khususnya makan malam, sebab rasanya sudah malam saat ini. Pertanda perut sudah mulai keroncongan. Aku lapar. Tapi rasa laparku itu masih dikalahkan rasa dahagaku yang kini telah membuncah. Adakah orang yang ingin memberiku segelas air pelepas dahaga ini? Mengapa tak ada orang yang peduli terhadap diriku? Biasanya anak sulungku akan membawakan segelas air bagiku jika dia tahu kalau aku sedang kehausan.
Aku tak mampu lagi menahan rasa sakit yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh terkulai lemas. Aku sangat merasa sendirian sekarang. Entah di mana mereka yang selama ini aku sayang. Aku ingin sekali mengulurkan tangan ini meminta pertolongan.
Tiba-tiba ada yang meraih tanganku. Aku terbangun dari tidurku yang hanya sekejap membuat aku melupakan rasa sakit yang dengan sekejap juga menghampiri hidupku. Entah derita apa ini. Datangnya sekejap mata. Ketika aku berkedip semuanya telah berubah. Kumasuki dunia baru yang antah berantah. Penuh dengan noda dan luka. Darah…
Sepasang malaikat itu tersenyum manis melihat kerancuan yang ada dalam benakku saat ini. Dan seketika itu juga dari belakang mereka melongok kepala seorang bocah seusia anakku, Roni. Dia memandangiku seolah malu dan takut. Namun sebelah matanya tertuju kepadaku. Pancaran matanya seakan mengingatkan aku pada anak bungsuku yang dari tadi tidak kelihatan. Biasanya jam segini dia sudah minta diajari bikin PR matematika. Tumben kali ini dia tidak mengganggu aku dalam kesibukanku.
“Roni???” Kenapa Roni bersama malaikat itu? Dan kenapa para malaikat itu membawa anakku bersama mereka. Sebenarnya sangat indah bersama mereka, tapi aku masih tidak tahu apa motif mereka bersama putra bungsuku itu. Roni berlari menuju tempat seorang perempuan berdiri. Kira-kira dua belasan tahun. Seketika itu juga aku mengingat Anggi, putri pertamaku. Dari punggungnnya tampak bagaikan putri kesayanganku yang lahir dua belas tahun yang lalu. Aku melahirkannya antara meregang nyawa. Aku diperkirakan tidak akan sanggup melahirkannya dengan normal karena dari hasil pemeriksaan anak yang aku kandung sangat gemuk. Di atas ukuran bayi pada umumnya. Akhirnya aku melahirkan dengan cara caesar. Lama berselang bekas operasi di perutku tak kunjung kering. Ada infeksi yang membuat aku tak sadarkan diri selama dua minggu. Selama dua minggu juga, aku tak bisa memberikannya asi. Sungguh kasihan…
Benar dugaanku. Ternyata gadis yang berdiri itu adalah Anggi, puteri sulungku satu-satunya. Ngapain pula dia ada di tempat ini? Dan kenapa mereka tak lekas memelukku setelah mereka melihat aku telah ada di hadapan mereka? Tidak mungkin mereka tidak melihat aku sedangkan mata mereka tertuju kepadaku. Karena mereka tidak menghampiriku, akhirnya kuputuskan untuk menghampiri mereka. Aku coba melangkah…
Aku tidak mampu. Serasa ada beban yang menghimpit kedua kakiku. Bagaikan bongkahan salju yang sangat menyakitkan dan tak dapat untuk aku singkirkan. Aku butuh pertolongan, sebab aku ingin sekali bersama kedua anak dan suamiku. Di mana suamiku? Dari tadi aku belum melihat wajahnya. Aku sangat mencintainya. Dia telah memberiku dua anak yang cantik dan tampan seperti dirinya. Perkawinan yang tak direstui tetap kami pertahankan hingga kami dikarunia dua anak. Entah apa yang membuat ayah dulu tidak setuju kalau aku menikah dengannya. Ayah tak pernah mau memberi jawaban jika aku menanyakan hal itu. Bahkan ibu selalu ditolak jika ingin membicarakan hal itu juga. Dan sekarang aku tidak bisa lagi mendengar jawaban ayah yang sesungguhnya sebab dia telah dipanggil Sang Khalik satu tahun yang lalu. Dan kamipun memutuskan untuk menikah meskipun tanpa kehadiran ayah kala itu. Terasa sedih. Namun akan terasa jauh lebih sedih jika pernikahan kami dibatalkan. Toh setelah kehadiran anak pertama kami, ayah datang menjenguk dengan bahagianya, sebahagia waktu dia berpulang, sebab anak-anak yang ditinggalkannya sudah mapan semua.
“Di mana suamiku?” Malaikat itu tak menjawab. Mereka hanya melontarkan senyum yang membuat aku semakin ingin menjauh dari mereka. Kedua anakku masih asyik berdiri menatap aku dalam ketidakberdayaanku sekarang. Entah apa yang mereka inginkan. Aku semakin layu.
Ini sudah hari keempat aku merasakan semua keanehan ini. Hingga pada suatu saat yang mengherankan karena aku ternyata sudah berada di sebuah ruanga rumah sakit. Sebelumnya aku tak merasa diriku sakit. Tapi kenapa aku berada di rumah sakit? Aku tersadar. Di sampingku sang suami yang kucintai dan kedua anakku berdiri dengan tatapan bahagia. Aku menitikkan air mata, entah karena apa. Yang pasti, karena aku akhirnya bisa bertemu mereka. Di kehidupan yang nyata. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi tidak bisa. Meski aku berusaha, namun usahaku tetap gagal. Ada yang aneh terasa di kedua kakiku. Orang-orang di sekitarku tak bisa berkata apapun. Mereka hanya memandangiku dengan rasa cemas dan khawatir. Sampai aku menemukan diriku yang sekarang, tanpa kaki. Karena aku telah diamputasi.
Kedua malaikat itu datang mengunjungi aku bahkan sampai ke tempat di mana aku sekarang berbaring tanpa kaki. Kini tanpa mahkota, sebab mahkota yang sebenarnya telah aku temukan di sini, di antara khalayak ramai dan para wartawan yang ingin meliput diriku karena terbebas dari maut, di bawah puing-puing reruntuhan.

Turut berduka cita atas musibah yang menimpa Padang-Pariaman, Sumatera Barat.

Sunday, October 4, 2009

TOOLS OF OCCUPATIONAL THERAPY

The pecil grip

Pencil grip yang bersifat kenyal, sangat nyaman digunakan dan latex free. Terdapat huruf R dan L sebagai petunjuk untuk meletakkan ibu jari





Stetro Pencil Grips
Diciptakan untuk membantul memperkuat tripod graps (index-middle finger-thumb)


Therapy Putty
Non-toxic, non-oily dan latex free, digunakan sebagai latihan untuk memperkuat jari tangan.
Konsistensi:
- warna orange: soft
- warna hijau : medium
- warna biru : firm
- warna ungu : extra firm





Corn Brushes/ therapy brush
Diciptakan oleh Wilbarger sebagai alat untuk mengurangi gejala sensory defensiveness (catatan: hanya dapat dijual kepada terapis yang telah melalui pelatihan tentang Sensory defensiveness)




Lip siren
Digunakan untuk oral stimulasi terutama untuk menstimulasi lip closure

Friday, October 2, 2009

Gempa yg mahadahsyat...

Masih segar diingatan kita bencana gempa dan tsunami yang melululantakkan
Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 yang lalu. Kemudian disusul gempa di Yogyakarta pada tahun 2005. Dan kemudian disusul lagi gempa di Tasik Malaya yang kita rasakan bersama di Jakarta. waktu itu saya berada di lantai 4 RSCM sedang mengikuti kuliah, dan akhirnya semua berhamburan, takut terjadi apa-apa. Dan yang sekarang, gempa di Sumatera Barat (Padang-Pariaman). Korban ditaksir 1.100 orang yang meninggal.

Sangat lucu ketika tak sedikit orang beranggapan bahwa Tuhan sedang MARAH pada manusia. Dia mendatangkan segala penderitaan lewat alam ciptaan-Nya.
Seorang teman di kampus mengatakan bahwa lokasi-lokasi gempa yang terjadi selama di Indonesia ialah lokasi-lokasi yang memiliki banyak noda atau yang sangat tidak disenangi oleh Sang Khalik. Karena itu Tuhan murka. terjdilah bencana.

MUngkinkah Tuhan menghukum ciptaanNya sendiri??
Mungkinkah Tuhan senang atas penderitaan yang dialami umat-Nya???
Tuhan itu Maha Pengasih, MahaPenyayang dan juga Mahapengampun.
Dia tak pernah berencana untuk memusnahkan BUMI.
Gempa dan bencana alam lainnya hanyalah bagian dari alam yang sepatutnya kita perhatikan dan seyogiyanya kita rawat bersama agar alam itu sendiri tidak MURKA.

Duka itu adalah duka kita bersama.
Tangis itu adalah tangis kita bersama.